Rabu, 30 Mei 2012

LUKISAN FEBRUARI

Diawal bulan Februari ini selalu turun hujan. Diujung senja aku lebih suka memaku diri di tepian jendela kamarku sambil memandangi lalu lalang orang dan kendaraan yang kehujanan di jalan sana. Kulihat si burung merpati terbang kesana kemari mencari tempat untuk berteduh. Sedangkan aku selalu menempelkan jemari tanganku ke kaca jendela kamar, lalu telunjukku meliuk-liuk membuat lukisan pada sisa tempias.
Kulukis hatiku disana. Bagiku, diujung senja di bulan Februari ini sering menyisakan cerita hingga saat malam tiba, dan terkadang benar-benar tak menyisakan apa-apa, mengembun seperti tempias hujan di kaca jendela kamar, lalu lukisan jemariku pun hilang. Begitu juga lukisan hati yang sempat kurenungkan.
Suara adzan maghrib menyeruak di antara berjuta titik air yang kian deras. Aku masih melukis isi hatiku di kaca jendela. Kututup daun jendela, lalu berusaha menjadi penghamba. Kuguyur beberapa bagian jasadku, lalu bercengkerama dengan gerakan indah. Aku tenggelamkan diri bersama kalimah-kalimah mutiara, mencari kepuasan hakiki. Kalam indah-Nya begitu terasa di jiwa, begitu hangat di tengah dingin hujan Februari.

 “Terima kasih tuhan, atas nikmat yang engkau berikan selamanya ini.” Ucapku diakhir sujud.
Aku tak lain adalah seorang wanita yang selalu menaati perintah-Nya. Kedua orang tuaku yang selalu mengajariku akan semua yang telah menjadi tugasku sebagai seorang muslim.
 “Aku punya tanggung jawab yang harus segera kupikul setelah selesai ini. Aku tak bisa bebas seperti burung. Karena aku adalah wanita yang penuh tugas yang harus selaluku pikul.”
***
“Febri, kenapa kamu datang terlambat?” Tanya pak dudut, guru sintaksis yang sering ku panggil pak gendut, memang postur tubuhnya yang sedikit agak gendut.
“Maaf pak, di jalan macet!” Alasan yang selalu aku lontarkan saat aku terlambat datang kesekolah karena aku terlalu sibuk dengan semua angan-anganku
“Alasan saja kamu! Kamu sudah terlambat tiga puluh menit Febri, kamu tunggu diluar!” Bentak pak dudut, yang kesal melihatku selalu terlambat datang kekampus.
Seperti hari-hari biasa, aku selalu mengisi mata kuliyah pertama duduk didepan kelasku, yang berhadapan langsung dengan lapangan basket, ku pandangin senior-seniorku sedang bemain basket itu. Mataku tajam, tertuju pada seniorku yang sering kupanggil “My lupboy”. Ya, julukan yang hanya aku punya untuk kak Denis nama aslinya.
Aku hanya bisa memandangnya jauh, aku wanita yang tak punya keberanian. Seperti apa yang slalu dikatan oleh teman-temanku. Aku wanita lemah yang hanya bisa menyembunyikan perasaanku.
Aku duduk manis menunggu pak dudut mempersilahkanku masuk pada jam mata kuliyah selanjutnya, karena masa hukumanku berakhir pada mata kuliyah kedua. Aku termenung sambil menggoresi kertas yang ada ditanganku, kulukis semua isi hatiku, sesekali aku tersenyum saat aku melihat ternyata aku tak menyadari bahwa aku telah menggambar sebuah wajah yang sangat mirip dengan kak Denis. Disana terdapat gambar kak Denis yang didampingi oleh gambar wajahku, dan tertulis “My Lupboy”.
“Ahh, kenapa aku membuat gambar kak denis?” Tanyaku dalam hati.
GUBRAAAGG!!!!
Aduhhh…
Aku hampir terjatuh saat sebuah bola basket itu menghampiri tubuhku, untung saja bola itu hanya mengenai tanganku, dan tak kusadari, kertas yang kupegang itu terbang dan terjatuh kedalam got kecil yang berada didepanku.
“Maaf, saya tidak sengaja!” Ucap lelaki yang telah membuat tanganku agak sakit.
“Maaf, maaf, lain kali kalo….” Aku memotong perkataanku ketika aku melihat bahwa lelaki yang meminta maaf itu adalah My lupboy. Ya, itu adalah kak Denis.
“Ii..ii..iyaa, enggak apa-apa kok.” Ucapku gelagapan.
***
Aku tersenyum bahagia, pipiku merah merona, mengingat kejadian tadi saat aku dihukum oleh pak dudut tidak boleh memasuki kelas. Hingga temanku Marsya merasa bingung dengan apa yang telah terjadi dengan diriku.
“Lo kenapa feb? kok lo senyum-senyum terus dari tadi?” Tanya Marsya heran.
“Gue seneng banget Sya, tadi My lupboy nyamperin gue.”
“Maksud lo kak Denis semester 7 itu? Emang dia ngapain feb, kok bisa nyamperin lo?” Marsya tambah penasaran.
“Iya kak Denis Pratama sya! Tadi saat dia bermain basket, bolanya mengenai tangan gue sya, dan Ia pun segera minta maaf sama gue.” Jelas Febri.
***
Cuaca hari ini benar-benar tidak bersahabat. Tak secerah hatiku. Petir dan derasnya hujan bersahutan tak tentu arah. Untunglah aku segera menaikki taksi, dan aku berlanjut segera menyuruh sopit taksi itu membawaku kepemakaman umum.
Bulan Februari ini sangat membuatku bahagia. Memberikan cahaya terang, namun tak secerah mentari pada hari-hari dibulan ini. Akhir bulan ini aku memasuki usia 20 tahun. Di usianya yang seharusnya aku menemukan kemandirian yang tak ubah seperti almarhum ibuku. Wataknya, wajahnya, dan senyumannya mampu membangkitkan semangat jiwaku.
Bagiku ibu adalah segalanya. Ibu selalu mewarnai hidupku, menghiasi setiap waktuku dengan segala kebaikkannya.
Aku tak sabar lagi menunggu hari ulang tahunku yang jatuh pada tanggal 20 Februari. Aku teringat saat ulang tahunku ke-17, ibu memberikan kejutan yang sampai saat ini selalu kuingat. Walau kini ibu telah tiada, kenangan itu selalu melukiskan Februariku di setiap tahun.
“Shriiitt....!!!” Taksi berhenti tiba-tiba.
“Maaf, mbak,” ucap sopir kepadaku. Ia merasa kenyamananku terganggu gara-gara ia hampir menyerempet seorang pria yang menaiki sepeda motor di depan taksi. Lalu ia menggerutu sesukanya.
“Hati-hati ya pak! Lain kali jangan mengebut lagi.”
“Tetapi, lelaki itu yang seenaknya mengebut dijalanan mbak.”
Wajahku langsung berubah menjadi wajah kesal. Pelan-pelan taksi kembali berjalan dalam hujan. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat melihat wajah yang berlalu dari samping taksi yang kutumpangi. Dialah yang hampir terserempet taksi barusan. Aku merasa sangat mengenal wajah lelaki itu tapi aku benar-benar lupa siapa sebenarnya dia. Dia bertengger diatas motornya, mengenakan topi dan kaca mata hitam. Ah.. mungkin aku pernah mengenalnya dalam mimpi.
“Itu kak Denis.” Desisku dalam hati.
***
Senja kian merayap dan perlahan-lahan beranjak pergi. Malam ini datang tidak sendiri. Ia menjelma bersama kilatan cahaya yang berbunyi menggelegar, bersama muntahan mendung yang tak tahu kapan berhentinya.
Entah dari mana musababnya, sepulang dari pemakaman ibu aku perasaanku tak menentu. Jari-jari tanganku mulai menari-nari di diatas kanvas. Aku benar-benar tak tahu reflek tanganku yang terus-menerus melukis di kanvas itu. Padahal aku sudah lama sekali tidak melakukan hal seperti itu. Wajah itu kembali hadir dalam ruang kosong kanvasku. Wajah yang sudah beberapa hari ini selalu sempat mengganggu konsentrasi kuliahku, dialah wajah My lupboy.
“Apakah benar lelaki yang aku lihat tadi adalah kak denis?” Pikirku
Malam hanya menyisakan suara jangkrik dan sesekali diselingi keras suara burung hantu. Suara televisi sudah mati. Tak ada lampu benderang yang bertahan hingga pagi. Kusimpan kuas dan cat yang sekian waktu menemani kesepianku.
***
Sinar mentari membawaku beranjak dari mimpi-mimpiku yang indah saat bertemu ibu. Aku tersenyum bahagia disetiap malam Februariku, yang ingin selalu bermimpikan kenangan bersama ibu di setiap ulang tahunku.
“Sepekan lagi kan ulang tahun lo Feb, lo udah undang kak denis untuk dateng kepesta ulang tahun lo?” Ujar Marysa mengingatkan.
“Gue gak berani buat mengundang kak denis sya.”
“Ah, gimana sih Feb, kan dari dulu lo selalu pengen kak denis dateng kepesta ulang tahun lo. Sini biar gue aja yang ngasih undangan lo.” Paksa Marsya.
Langkah kaki Marsya menuju lapangan basket, ia menghampiri kak denis yang sedari tadi sedang latihan bermain basket. Febri hanya diam terpaku saat melihat Marsya memberikan undangan itu kepada kak denis. Dan aku pun tersenyum bahagia ketika kak denis menerima undangan yang diberikan oleh Marsya.
“Tapi, apakah mungkin kak denis akan dateng ke pesta ulang tahunku?” Pikirku.
***
Hari yang ku nantikan pun tiba, tanggal 20 Februari yang selalu ku cinta, tak ingin rasanya ku tinggalkan hari ini. Karena hari ini seluruh teman-teman berkumpul dirumahku untuk merayakan hari ulang tahunku.
“Happy birthday Febri..” Ucapan yang pertama ku dapat dari sahabatku Marsya.
“Terima kasih sya,”
Aku tengokkan kepalaku kekanan dan kekiri, ku cari wajah yang selalu menghiasi Februariku selain wajah ibu, “Kemana My lupboy? Apakah dia tidak datang kepestaku?” Desisku dalam hati.
Datanglah seorang pria gagah yang mengenakan jas berwarna putih, lelaki itu melangkahkan kaki kehadapanku dengan membawa seikat mawar putih kesukaanku.
“Selamat ulang tahun Febri!” Ucap lelaki yang membawa mawar putih yang diketahui adalah kak denis, My lopboy.
Aku terkejut saat mengetahui bahwa selama ini kak denis selalu memperhatikkanku, dan selama ini pula ia pun selalu mengagumiku.
Malam ini adalah malam Februari yang sangat indah, seterang sinar rembulan yang menemani taburan bintang dilangit cerah, hingga kini akupun tak mampu sedetik  untuk melukiskan lagi embun di kaca jendela seperti di senja-senja Februari yang kalbu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar