Diawal bulan
Februari ini selalu turun hujan. Diujung senja aku lebih suka memaku diri di tepian
jendela kamarku sambil memandangi lalu lalang orang dan kendaraan yang
kehujanan di jalan sana. Kulihat si burung merpati terbang kesana kemari
mencari tempat untuk berteduh. Sedangkan aku selalu menempelkan jemari tanganku
ke kaca jendela kamar, lalu telunjukku meliuk-liuk membuat lukisan pada sisa
tempias.
Kulukis
hatiku disana. Bagiku, diujung senja di bulan Februari ini sering menyisakan
cerita hingga saat malam tiba, dan terkadang benar-benar tak menyisakan
apa-apa, mengembun seperti tempias hujan di kaca jendela kamar, lalu lukisan
jemariku pun hilang. Begitu juga lukisan hati yang sempat kurenungkan.
Suara adzan
maghrib menyeruak di antara berjuta titik air yang kian deras. Aku masih
melukis isi hatiku di kaca jendela. Kututup daun jendela, lalu berusaha menjadi
penghamba. Kuguyur beberapa bagian jasadku, lalu bercengkerama dengan gerakan
indah. Aku tenggelamkan diri bersama kalimah-kalimah mutiara, mencari kepuasan
hakiki. Kalam indah-Nya begitu terasa di jiwa, begitu hangat di tengah dingin
hujan Februari.
“Terima kasih tuhan, atas nikmat yang engkau
berikan selamanya ini.” Ucapku diakhir sujud.
Aku tak lain
adalah seorang wanita yang selalu menaati perintah-Nya. Kedua orang tuaku yang
selalu mengajariku akan semua yang telah menjadi tugasku sebagai seorang
muslim.
“Aku punya tanggung jawab yang harus segera
kupikul setelah selesai ini. Aku tak bisa bebas seperti burung. Karena aku
adalah wanita yang penuh tugas yang harus selaluku pikul.”
***
“Febri,
kenapa kamu datang terlambat?” Tanya pak dudut, guru sintaksis yang sering ku
panggil pak gendut, memang postur tubuhnya yang sedikit agak gendut.
“Maaf pak, di
jalan macet!” Alasan yang selalu aku lontarkan saat aku terlambat datang
kesekolah karena aku terlalu sibuk dengan semua angan-anganku
“Alasan saja
kamu! Kamu sudah terlambat tiga puluh menit Febri, kamu tunggu diluar!” Bentak
pak dudut, yang kesal melihatku selalu terlambat datang kekampus.
Seperti
hari-hari biasa, aku selalu mengisi mata kuliyah pertama duduk didepan kelasku,
yang berhadapan langsung dengan lapangan basket, ku pandangin senior-seniorku
sedang bemain basket itu. Mataku tajam, tertuju pada seniorku yang sering
kupanggil “My lupboy”. Ya, julukan yang hanya aku punya untuk kak Denis nama aslinya.
Aku hanya
bisa memandangnya jauh, aku wanita yang tak punya keberanian. Seperti apa yang
slalu dikatan oleh teman-temanku. Aku wanita lemah yang hanya bisa menyembunyikan
perasaanku.
Aku duduk
manis menunggu pak dudut mempersilahkanku masuk pada jam mata kuliyah
selanjutnya, karena masa hukumanku berakhir pada mata kuliyah kedua. Aku
termenung sambil menggoresi kertas yang ada ditanganku, kulukis semua isi hatiku,
sesekali aku tersenyum saat aku melihat ternyata aku tak menyadari bahwa aku
telah menggambar sebuah wajah yang sangat mirip dengan kak Denis. Disana
terdapat gambar kak Denis yang didampingi oleh gambar wajahku, dan tertulis “My
Lupboy”.
“Ahh, kenapa
aku membuat gambar kak denis?” Tanyaku dalam hati.
GUBRAAAGG!!!!
Aduhhh…
Aku hampir
terjatuh saat sebuah bola basket itu menghampiri tubuhku, untung saja bola itu
hanya mengenai tanganku, dan tak kusadari, kertas yang kupegang itu terbang dan
terjatuh kedalam got kecil yang berada didepanku.
“Maaf, saya
tidak sengaja!” Ucap lelaki yang telah membuat tanganku agak sakit.
“Maaf, maaf,
lain kali kalo….” Aku memotong perkataanku ketika aku melihat bahwa lelaki yang
meminta maaf itu adalah My lupboy. Ya, itu adalah kak Denis.
“Ii..ii..iyaa,
enggak apa-apa kok.” Ucapku gelagapan.
***
Aku tersenyum
bahagia, pipiku merah merona, mengingat kejadian tadi saat aku dihukum oleh pak
dudut tidak boleh memasuki kelas. Hingga temanku Marsya merasa bingung dengan
apa yang telah terjadi dengan diriku.
“Lo kenapa
feb? kok lo senyum-senyum terus dari tadi?” Tanya Marsya heran.
“Gue seneng
banget Sya, tadi My lupboy nyamperin gue.”
“Maksud lo
kak Denis semester 7 itu? Emang dia ngapain feb, kok bisa nyamperin lo?” Marsya
tambah penasaran.
“Iya kak
Denis Pratama sya! Tadi saat dia bermain basket, bolanya mengenai tangan gue
sya, dan Ia pun segera minta maaf sama gue.” Jelas Febri.
***
Cuaca hari
ini benar-benar tidak bersahabat. Tak secerah hatiku. Petir dan derasnya hujan
bersahutan tak tentu arah. Untunglah aku segera menaikki taksi, dan aku
berlanjut segera menyuruh sopit taksi itu membawaku kepemakaman umum.
Bulan Februari
ini sangat membuatku bahagia. Memberikan cahaya terang, namun tak secerah
mentari pada hari-hari dibulan ini. Akhir bulan ini aku memasuki usia 20 tahun.
Di usianya yang seharusnya aku menemukan kemandirian yang tak ubah seperti
almarhum ibuku. Wataknya, wajahnya, dan senyumannya mampu membangkitkan
semangat jiwaku.
Bagiku ibu
adalah segalanya. Ibu selalu mewarnai hidupku, menghiasi setiap waktuku dengan
segala kebaikkannya.
Aku tak sabar
lagi menunggu hari ulang tahunku yang jatuh pada tanggal 20 Februari. Aku
teringat saat ulang tahunku ke-17, ibu memberikan kejutan yang sampai saat ini
selalu kuingat. Walau kini ibu telah tiada, kenangan itu selalu melukiskan
Februariku di setiap tahun.
“Shriiitt....!!!”
Taksi berhenti tiba-tiba.
“Maaf, mbak,”
ucap sopir kepadaku. Ia merasa kenyamananku terganggu gara-gara ia hampir
menyerempet seorang pria yang menaiki sepeda motor di depan taksi. Lalu ia
menggerutu sesukanya.
“Hati-hati ya
pak! Lain kali jangan mengebut lagi.”
“Tetapi,
lelaki itu yang seenaknya mengebut dijalanan mbak.”
Wajahku langsung
berubah menjadi wajah kesal. Pelan-pelan taksi kembali berjalan dalam hujan.
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat melihat wajah yang berlalu dari
samping taksi yang kutumpangi. Dialah yang hampir terserempet taksi barusan. Aku
merasa sangat mengenal wajah lelaki itu tapi aku benar-benar lupa siapa
sebenarnya dia. Dia bertengger diatas motornya, mengenakan topi dan kaca mata
hitam. Ah.. mungkin aku pernah mengenalnya dalam mimpi.
“Itu kak
Denis.” Desisku dalam hati.
***
Senja kian
merayap dan perlahan-lahan beranjak pergi. Malam ini datang tidak sendiri. Ia
menjelma bersama kilatan cahaya yang berbunyi menggelegar, bersama muntahan
mendung yang tak tahu kapan berhentinya.
Entah dari
mana musababnya, sepulang dari pemakaman ibu aku perasaanku tak menentu. Jari-jari
tanganku mulai menari-nari di diatas kanvas. Aku benar-benar tak tahu reflek
tanganku yang terus-menerus melukis di kanvas itu. Padahal aku sudah lama
sekali tidak melakukan hal seperti itu. Wajah itu kembali hadir dalam ruang kosong
kanvasku. Wajah yang sudah beberapa hari ini selalu sempat mengganggu
konsentrasi kuliahku, dialah wajah My lupboy.
“Apakah benar
lelaki yang aku lihat tadi adalah kak denis?” Pikirku
Malam hanya
menyisakan suara jangkrik dan sesekali diselingi keras suara burung hantu.
Suara televisi sudah mati. Tak ada lampu benderang yang bertahan hingga pagi.
Kusimpan kuas dan cat yang sekian waktu menemani kesepianku.
***
Sinar mentari
membawaku beranjak dari mimpi-mimpiku yang indah saat bertemu ibu. Aku
tersenyum bahagia disetiap malam Februariku, yang ingin selalu bermimpikan
kenangan bersama ibu di setiap ulang tahunku.
“Sepekan lagi
kan ulang tahun lo Feb, lo udah undang kak denis untuk dateng kepesta ulang
tahun lo?” Ujar Marysa mengingatkan.
“Gue gak
berani buat mengundang kak denis sya.”
“Ah, gimana sih
Feb, kan dari dulu lo selalu pengen kak denis dateng kepesta ulang tahun lo.
Sini biar gue aja yang ngasih undangan lo.” Paksa Marsya.
Langkah kaki
Marsya menuju lapangan basket, ia menghampiri kak denis yang sedari tadi sedang
latihan bermain basket. Febri hanya diam terpaku saat melihat Marsya memberikan
undangan itu kepada kak denis. Dan aku pun tersenyum bahagia ketika kak denis
menerima undangan yang diberikan oleh Marsya.
“Tapi, apakah
mungkin kak denis akan dateng ke pesta ulang tahunku?” Pikirku.
***
Hari yang ku
nantikan pun tiba, tanggal 20 Februari yang selalu ku cinta, tak ingin rasanya
ku tinggalkan hari ini. Karena hari ini seluruh teman-teman berkumpul dirumahku
untuk merayakan hari ulang tahunku.
“Happy
birthday Febri..” Ucapan yang pertama ku dapat dari sahabatku Marsya.
“Terima kasih
sya,”
Aku tengokkan
kepalaku kekanan dan kekiri, ku cari wajah yang selalu menghiasi Februariku
selain wajah ibu, “Kemana My lupboy? Apakah dia tidak datang kepestaku?”
Desisku dalam hati.
Datanglah seorang
pria gagah yang mengenakan jas berwarna putih, lelaki itu melangkahkan kaki
kehadapanku dengan membawa seikat mawar putih kesukaanku.
“Selamat
ulang tahun Febri!” Ucap lelaki yang membawa mawar putih yang diketahui adalah
kak denis, My lopboy.
Aku terkejut
saat mengetahui bahwa selama ini kak denis selalu memperhatikkanku, dan selama
ini pula ia pun selalu mengagumiku.
Malam ini
adalah malam Februari yang sangat indah, seterang sinar rembulan yang menemani
taburan bintang dilangit cerah, hingga kini akupun tak mampu sedetik untuk melukiskan lagi embun di kaca jendela
seperti di senja-senja Februari yang kalbu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar